Selamat Datang

Selamat Datang

Kamis, 02 Januari 2014

SINOPSIS BUKU – Steve Jobs (Part 2 Resensi Bahasa Indonesia)



Judu                            : Steve Jobs
No. ISBN                    : 0019005466
Penulis                         : Walter Isaacson
Penerbit                       : Bentang Pustaka
Tanggal terbit              : Oktober – 2011
Jumlah Halaman          : 742               
Jenis Cover                  : Soft Cover
Kategori                      : Biografi      
Text                             : Bahasa Indonesia

Ini adalah buku biografi eksklusif tentang Steve Jobs yang ditulis oleh pengarang buku biografi best seller tentang Benjamin Franklin dan Albert Einstein.
Setelah melakukan wawancara lebih dari empat puluh kali dengan Jobs selama dua tahun, serta wawancara dengan lebih dari seratus anggota keluarga, sahabat, musuh, pesaing, dan kolega Jobs, Walter Isaacson menulis sebuah kisah memukau tentang tentang jatuh-bangunnya seorang pengusaha kreatif dan kepribadiannya yang menggugah dengan gairah akan kesempurnaan dan kontrol gila-gilaannya yang berhasil merevolusi enam industri: komputer pribadi, film animasi, musik, ponsel, computer tablet, dan penerbitan digital.
Saat Amerika mencari cara untuk mempertahankan keinovatifan, Jobs muncul sebagai ikon utama dunia inovasi dengan imaginasi-imaginasi yang bisa diterapkan. Dia tahu bahwa cara terbaik untuk menciptakan sesuatu yang berharga pada abad kedua puluh satu adalah dengan menghubungkan kreativitas dan teknologi. Dia membangun sebuah perusahaan yang merupakan kombinasi dari imajinasi yang tak biasa dengan teknik yang hebat.
Jobs sangat kooperatif dalam penulisan buku ini, namun menolak mengontrol apa yang ditulis. Ia bahkan tidak mau menggunakan hak untuk membaca naskahnya sebelum diterbitkan. Dia tidak memberikan batasan apapun. Dia mendorong semua orang yang tahu untuk berbicara jujur. Jobs sendiri pun bicara apa adanya, kadang brutal, tentang orang-orang yang bekerja dan berkompetisi dengannya. Teman-teman, musuh, dan kolega-koleganya memberikan pandangan yang sebenarnya tentang gairah, perfeksionismenya, obsesi, seni, kejahatan, dan paksaan untuk mengontrol pendekatannya pada bisnis dan produk inovatif yang dihasilkan.
Semangatnya yang meluap-luap membuat orang-orang di sekeliling Jobs marah dan putus asa. Tapi kepribadian dan produknya selalu berkaitan, seperti halnya perangkat keras Apple dan perangkat lunaknya, seolah merupakan bagian dari sebuah sistem yang terintegrasi. Kisahnya ini memaparkan banyak informasi sekaligus peringatan, yang sarat dengan pelajaran tentang inovasi, karakter, kepemimpinan, dan nilai-nilai.
Walter Isaacson adalah CEO Aspen Institute. Sebelumnya ia pernah menjadi pimpinan CNN dan manajer editor majalah Times. Buku yang pernah ditulisnya adalah Einsten: His Life and Universe, Benjamin Franklin: An American Life, dan Kissinger: A Biography. Isaacton juga pernah menulis The Wise Men: Six Friends and the World They Made bersama Evan Thomas. Kini, Isaacton dan istrinya tinggal di Washington, D. C.
Kesederhanaan Steve Jobs
Foto pendiri Apple Computer Corporation menghiasi sampul depan dan belakang buku berjudul Steve Jobs by Walter Isaacson. Sorot kedua mata Jobs tak berbeda meski foto itu diambil dalam selang waktu berbeda. Sekilas ramah, tapi tajam menyelidik.
Senyum tipis menambah karismanya. Ia mengenakan kaus hitam lengan panjang sebagai baju kebesarannya. Itulah gambaran besar dari kepribadian paradoks milik Jobs yang terangkum dalam deretan kalimat yang disusun Walter Isaacson ini. Pada musim panas 2004, Isaacson merupakan orang yang diminta secara khusus oleh Jobs untuk menuliskan biografi dirinya saat mereka berjalan-jalan. Cara itu menjadi ciri khas Jobs saat ia merasa perlu menyampaikan sesuatu yang serius. Namun, Isaacson merasa waktunya belum tepat hingga kelanjutan rencana pembuatan biografi  tertunda sampai lima tahun. Kondisi kesehatan Jobs yang menurun menjadi awal penggarapan buku tersebut hingga akhirnya bisa diterbitkan, tak lama setelah pria 56 tahun itu wafat pada 5 Oktober 2011 belum lama ini. Isaacson memilih cerita kehidupan Paul Jobs dan Clara Jobs sebagai pembuka kisah kehidupan lelaki kelahiran San Fransisco, 24 Februari1955, itu.
Pernikahan mereka bahagia tetapi merasa ada yang kurang dalam kehidupan pernikahan karena belum dikaruniai anak hingga tahun ke-9 pernikahan. Mereka pun mulai terpikir untuk mengadopsi seorang bayi. Di lain tempat, mahasiswa pascasarjana Universitas Wins consin Joanne Schieble mengandung bayi hasil hubungannya dengan asisten pengajar Islam dari Suriah, Abdulfattah ‘Jhon’ Jandali. Mereka tak bisa menikah karena ditentang ayah Joanne. Maka itu, Joanne memutuskan melahirkan diam-diam dan merencanakan penyerahan bayinya untuk diadopsi. Hingga akhirnya, pasangan Paul dan Clara menerima bayi itu untuk dibesarkan seperti anak kandung. SteveJobs tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dengan aturan yang dibuatnya sendiri. Kecemerlangan prestasi Jobs di sekolah selalu didukung penuh oleh keduanya.
Sejak kecil, Jobs menunjukkan minat besar dalam bidang elektronik.Ia bahkan mendapat pekerjaan di pabrik tempat memproduksi alat pencari frekuensi milik Hewlett-Packard. Hingga akhirnya, dia pun bertemu dengan Steve Wozniak, akrab disapa Woz, yang juga memiliki minat sama di bidang elektronik. Duo Steve itu semakin akrab. Woz dianggap memiliki hati yang lembut dan jujur, sedangkan Jobs dianggap lebih manipulatif. Namun, itu tak menghentikan tindakan jahil mereka. Mereka menciptakan alat yang mengganggu frekuensi sinyal televisi hingga alat yang dapat memanipulasi telepon bernama Blue Box. Alat tersebut kemudian menjadi proyek pertama mereka berdua dan kemudian menjualnya. Jobs bertindak sebagai pemasar, sedangkan Woz sebagai teknisi. Produk mereka laku keras hingga sebuah insiden menghentikan penjualan Blue Box.
Hubungan keduanya terus berlanjut meski mengambil kuliah di universitas yang berbeda. Jobs memilih Universitas Reed sebagai bentuk pemberontakan pasifnya terhadap kedua orangtuanya. Padahal, tabungan orangtuanya tak cukup besar untuk membiayai kuliah Jobs di universitas swasta itu. Beberapa saat kemudian, Jobs memutuskan berhenti membayar kuliahnya dan hanya mengikuti mata kuliah yang menarik minatnya, misalnya kelas kaligrafi. Saat itulah, ia menyadari bahwa dirinya berada di persimpangan antara teknologi dan seni. Kesadarannya itu dituangkan dalam semua produk yang dihasilkannya. Isaacson menggambarkannya sebagai perpaduan antara desain yang hebat, penampilan, rasa, keeleganan, sentuhan manusia, dan bahkan cinta. “Seandainya aku tidak pernah mengambil mata kuliah itu di perguruan tinggi, Mac tidak akan pernah memiliki banyak sekali desain huruf atau jenis huruf dengan spasi yang tepat.Lebih lagi, karena Windows hanya meniru Mac, mungkin tidak ada komputer pribadi yang memiliki desain seperti itu,” ujar Jobs sebagaimana dikutip Isaacson.
Kelahiran Apple
Steve Jobs dan Apple memang lekat satu sama lain. Tahukah Anda bahwa nama Apple yang dipilih sebagai nama brand tercetus begitu saja tanpa konsep filosofis seperti dugaan banyak orang? Semua berawal dari rancangan komputer yang dibuat Woz. Ia berhasil mengetikkan sebuah huruf dengan keyboard dan menampilkannya pada layar komputer. Hal itulah yang membangkitkan minat Jobs lebih besar lagi. Ia mendorong rancangan komputer Woz agar dimodifikasi lebih sempurna lagi. Untuk itu, keduanya bersama-sama menghadiri Klub Komputer Homebrew yang menjadi tempat pertemuan para penyuka teknologi untuk bertukar pengetahuan secara gratis. Awalnya, Jobs tak begitu mempermasalahkan hingga ia melihat peluang bisnis dalam produk Woz. Ia berusaha meyakinkan Woz yang terlalu pemalu itu untuk mulai menjual produk secara komersial.
Mereka pun akhirnya mulai mengumpulkan modal untuk usaha yang baru dirintis tersebut, termasuk menggaet Rob Wayne untuk menanam saham. Modal terkumpul dan mereka membutuhkan nama bagi perusahaan mereka. Jobs yang sebelumnya baru pulang dari memangkas apel varietas gravenstain mencetuskan beberapa nama. Deretan nama itu tak ada yang menarik sampai ia terpikir untuk menggunakan Apple sebagai nama. Pemilihan itu bertahan hingga akhirnya tak terpikir nama lain. “Saat itu, aku sedang melakukan diet buah .Aku baru saja kembali dari kebun apel. Nama itu kedengarannya menyenangkan, penuh semangat, dan tidak mengintimidasi. Selain itu, nama perusahaan kami akan berada di atas Atari dalam daftar buku telepon,” jelas Jobs soal nama tersebut.
Pembeli pertama produk mereka adalah Paul Terrel. Ia memesan 50 papan Apple I yang harus diselesaikan dalam jangka waktu sebulan. Jobs, Woz, Wayne, dan beberapa kawannya bekerja siang malam di garasi rumah orangtua Jobs untuk menyelesaikan pesanan tersebut tepat waktu. Keuntungan pun akhirnya diraih setelah penjualan perdana tersebut.
Jobs merupakan orang yang memercayai kehidupan spiritual. Ia pernah menjadi penganut Kristen hingga berhenti karena kejadian kelaparan di Afrika. Pencariannya kemudian berlanjut hingga ia terpukau oleh ajaran Buddha Zen. Ia juga sangat terinspirasi oleh buku karangan Baba Ram Dass berjudul  Be Here Now, sampai-sampai ia menjauhkan diri dari hal yang bersifat materi. Spiritualitas Jobs juga menciptakan kepribadian yang nyentrik.Ia tak canggung berjalan-jalan tanpa alas kaki. Ia juga diet ketat dengan hanya mengonsumsi apel dan wortel selama berminggu-minggu sebagai bagian dari pola hidup vegan. Hal itu membuat badannya kurus kering. Belum lagi soal kebiasaannya jarang mandi. Namun, temperamennya menunjukkan hal yang sebaliknya. Ia mudah marah dan berteriak jika tak memperoleh kesempurnaan.
Buku ini tidak dipenuhi pujian terhadap Jobs. Penulis berhasil menggambarkan pribadi Jobs sebagai manusia yang diisi emosi, hasrat, cinta, pengorbanan, ambisi, dan lainnya. Semakin banyak menelusuri biografi ini, semakin menyadarkan diri bahwa Ste ve Jobs bukanlah manusia sempurna. Dia memikat sekaligus ‘berbahaya’. Perpaduan yang menjadikannya pribadi ajaib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sangkyu

sangkyu